Sabtu, 23 Mei 2009

KRITIK UNTUK KAMPUS

<<<< KRITIK UNTUK KAMPUS >>>>

Peran pendidikan adalah untuk mendorong revolusi sosial. Masyarakat harus dipaksa berpikir. Tugas politis seorang dosen adalah mengajukan masalah dan memprovokasi pertentangan-pertentangan dalam pikiran para mahasiswa. Sebagai seorang dosen harus dikembangkan kultur mengajar yang baru dan berkobar.

Adakah dosen yang lebih menyukai mahasiswa yang mampu memberi buah pikiran yang independen dan reflektif? Bukankah mahasiswa yang tidak sependapat dengan dosen berdasarkan refleksinya sendiri adalah lebih berguna ketimbang mahasiswa yang sependapat dengan dosen tanpa refleksi?

Kampus telah jadi museum tempat banyak orang tua yang berkumpul dan saling memaksakan pendapatnya. Di sana buku yang ditulis kemudian dipaksakan untuk dibeli dan dibaca. Dosen-dosen muda hanya sibuk untuk sekolah kemudian mengajar dengan bait yang sama. Mereka hanya menjadi pengeras suara dari isi buku yang menjemukan dan banyak di antara mereka tak punya pandangan segar dan mengejutkan. Walau bacaan mereka kaya dan bermutu tetapi sedikit yang menguasai ilmu berpidato. Karena itu kuliah berjalan seperti mobil tua yang lamban jalannya: terseok-seok tanpa ada kegemparan. Kuliah yang tawar membuat kampus jadi tempat sunyi tanpa gairah. Perpustakaan sepi sedang kantin kampus penuh dan padat. Rasa lapar lebih didahulukan ketimbang kekurangan pengetahuan.

Itu yang membuat kampus hanya menjadi menara gading karena menyimpan mahluk-mahluk kerdil yang tidak terlalu antusias berpikir hal-hal besar. Sedang di luar sana masyarakat juga memandang kampus sebagai lingkungan para terpelajar elit yang sulit disentuh. Dengan biaya yang begitu mahal siapa yang bisa kuliah. Ujung dari pendidikan yang busuk ini hanya menghadirkan mahasiswa-mahasiswa penindas yang tak peduli akan kesulitan rakyat.

Hanya mereka yang berani menuntut haknya pantas diberikan keadilan. Kalau Mahasiswa Papua tidak berani menuntut hak-haknya, biarlah mereka ditindas sampai akhir zaman oleh dosen-dosen korup mereka.

Pendidikan tinggi bukan sekedar siraman informasi tapi bagaimana menanam benih karakter. Dan karakter tidak akan terbentuk tanpa pengenalan seorang pelajar akan masalah dan lingkungannya. Pangkal segala pendidikan karakter ialah cinta akan kebenaran dan berani mengatakan salah dalam menghadapi sesuatu yang tidak benar …… dalam memelihara dan memajukan ilmu, karakterlah yang terutama, bukan kecerdasan. Kurang kecerdasan dapat di isi, kurang karakter sukar memenuhinya.

Seorang intelektual, bukan saja giat mengunyah ilmu, tapi sanggup mengorbankan hidupnya untuk perubahan. Mengorbankan hidupnya untuk keabadian. Bukankah perubahan itu abadi?

Mengapakah kita percaya bahwa hanya dengan datang ke kampus kuliah dan pulang kita akan menjadi pribadi yang utuh? Jawabannya adalah ada hegemoni yang membungkam semua orang. Sayangnya hegemoni ini tidak hanya dikekalkan oleh mahasiswa sendiri tetapi lebih parah lagi oleh dosen. Mereka hanya berkata dalam nada yang terus diulang-ulang: jangan hanya datang ke kampus terus pulang. Mereka tidak bersikap. Mana diskusi-diskusi antar dosen yang dapat merembes ke dunia kemahasiswaan?

Mengapakah kita percaya bahwa perubahan itu tidak mungkin terjadi? Jawabannya adalah ada hegemoni.

Perubahan bukan hanya mungkin tetapi pasti. Bukankah perubahan adalah abadi? maka perubahan juga adalah kepastian?

Kesalahan intelektual terletak pada mempercayai bahwa seseorang dapat mengetahui tanpa merasakan……dengan kata lain bahwa seolah-olah seorang intelektual dapat menjadi intelektual jika berbeda dan dipisahkan dari masyarakat; yaitu tanpa merasakan gerak, getaran dan gairah yang timbul di dalam masyarakat……kita tidak dapat membuat sejarah politik tanpa gairah ini.

Perlu adanya reinkarnasi kemanusiaan. Mengapa? Sebab kemanusiaan kita sudah tak utuh lagi, kita tidak lagi memanusiakan manusia tetapi kita menuhankan diri sendiri dan kelompok dan tega membiarkan manusia lain berada dalam kubangan kenistaan.

Seorang teman pernah berkata: indikasi meningkatnya perekonomian Papua bukan diukur dari berapa banyak pejabat yang naik pesawat ke Jakarta, atau berapa banyak pejabat yang tinggal di hotel berbintang, tetapi dari berapa banyak babi yang naik pesawat dan tinggal di hotel-hotel mewah.

Kalau semua orang menganggapku sebagai bajingan, provokator atau bahkan teroris……biarlah sejarah menuliskannya. Aku tak peduli pada penilaian segenap dunia. Saya Adalah Saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar