Sabtu, 23 Mei 2009

DEMOKRASI, NOMOKRASI DAN KONSTITUSI

DEMOKRASI, NOMOKRASI DAN KONSTITUSI

Oleh : Habelino A Sawaki

A. Demokrasi

Pada umumnya negara modern di dunia menyatakan dirinya sebagai negara yang bersistim pemerintahan demokrasi, yakni sistim pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.

Pembicaraan mengenai demokrasi menjadi penting artinya, sebab judicial review merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang berperan untuk menjaga tetap terlaksananya kemauan rakyat selaku pemegang kedaulatan dalam negara yang dilaksanakan menurut undang-undang dasar.

Demokrasi pada intinya ialah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi sebagai dasar kehidupan bernegara memberi pengertian bahwa pada tingkatan terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut menentukan kehidupan rakyat.

Jadi, negara demokrasi ialah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi demokrasi berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri dengan persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat. Pengertian kedaulatan itu sendiri oleh Ismail Sunny diartikan sebagai wewenang tertinggi yang menentukan segala wewenang yang ada dalam suatu negara.

Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Ini berarti bahwa negara Indonesia menganut paham demokrasi. konstitusionil yang dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang sesuai dengan konstitusi (hukum dasar). Jadi bukan demokrasi yang liar, tak terbatas, tetapi demokrasi yang dibatasi oleh hukum (konstitusi).

Ciri khas dari demokrasi konstitusionil ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi; maka dari itu sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi”.

Gagasan bahwa kekuasaan pemerintah perlu dibatasi dirumuskan oleh seorang ahli sejarah inggris, Lord Acton, dengan mengingat bahwa pemerintahan selalu diselenggarakan oleh umat manusia dan bahwa pada manusia itu tanpa kecuali melekat banyak kelemahan. Dalilnya yang kemudian termasyur, bunyinya sebagai berikut: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely” (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya).

B. Negara Hukum

Akan tetapi, kedaulatan rakyat tidak tak terbatas. Keterbatasan itu berlaku dalam dua arah. Pertama, kedaulatan rakyat tidak menuntut agar tidak ada kekuasaan para warga negara, melainkan bahwa kekuasaan harus dikontrol oleh mereka. Kedaulatan rakyat tidak berarti bahwa segala keputusan harus diambil langsung oleh rakyat. Yang harus dituntut ialah agar pemerintahan negara tetap di bawah kontrol masyarakat. Kedua, demokrasi pun dapat menjadi totaliter. Suatu mayoritas dapat memaksakan kehendaknya kepada minoritas. Demokrasi menjadi totaliter apabila rakyat, atau lebih tepat mayoritas rakyat, memutlakkan kehendaknya. Untuk menanggulangi bahaya itu, maka demokrasi perlu diberi pagar. Tidak ada kehendak pihak manapun di dunia, entah minoritas, entah mayoritas, yang memiliki suatu hak mutlak agar kehendaknya terlaksana. Segenap kehendak satu pihak menemukan batasnya pada pihak lain. Tidak ada hak atas kebebasan yang tak terbatas. Suatu negara demokrasi harus memberikan jaminan-jaminan konstitusional terhadap hak azasi manusia. Suatu demokrasi pun memerlukan undang-undang dasar yang tidak dapat diubah dengan mayoritas biasa, dan dalam undang-undang dasar itu hak-hak azasi manusia harus dijamin dan tidak dapat dihapus oleh mayoritas apapun karena hak-hak itu dimiliki manusia mendahului penetapan masyarakat. Jadi kehendak rakyat harus mengikuti norma-norma hukum. Tentu saja, rakyat berhak untuk menetapkan dan mengubah hukum, tetapi selama suatu undang-undang berlaku, kekuasaan demokratis pun terikat padanya. Itulah tuntutan negara hukum.

Di dalam praktek ketatanegaraan orang masih menyangsingkan apakah negara hukum itu sudah dilaksanakan sepenuhnya. Hal ini dapat dipahami karena di dalam praktek, pengertian yang bersih menurut teori masih perlu diperhitungkan dengan faktor-faktor yang nyata yang hidup di dalam masyarakat menurut waktu dan tempat. Karena itu tidak mengherankan jika cita-cita yang universal mengenai negara hukum yang diletakkan di dalam konstitusi, sering dilanggar dalam praktek.

Aristoteles mengaitkan pengertian negara hukum dengan arti daripada negara dalam perumusannya yang masih terkait kepada “polis”. Ia berpendapat bahwa pengertian negara hukum itu timbul dari polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah yang luas dan berpenduduk banyak (vlakte Staat). Dalam polis itu segala urusan negara dilakukan dengan musyawarah (ecclesia), di mana seluruh warga negaranya ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara.

Yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum.

Pada negara hukum liberal atau negara hukum dalam arti sempit, orang hanya mengenal dua unsur yang penting, yaitu:

1. Perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia;

2. Pemisahan kekuasaan.

Menurut F. J. Stahl, ciri-ciri negara hukum formil (rechtstaat) sebagai berikut:

1. Pengakuan terhadap hak-hak azasi manusia;

2. Pemisahan kekuasaan negara;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan

4. Adanya peradilan administrasi.

A.V. Dicey memberikan ciri-ciri negara hukum (the rule of law) sebagai berikut:

1. Supremasi hukum, dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika melanggar hukum;

2. Kedudukan yang sama di depan hukum, baik bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat;

3. Terjaminnya hak-hak azasi oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan.

Sri Soemantri lebih mempertegas lagi mengenai unsur-unsur yang terpenting dalam negara hukum yang dirinci menjadi 4 (empat) unsur, yaitu:

1. Bahwa negara dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, harus berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan;

2. Adanya jaminan terhadap hak-hak azasi manusia (warga negara);

3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle).

Paham negara hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil. Jadi ada 2 (dua) unsur dalam paham negara hukum, yaitu: pertama, bahwa hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan, melainkan berdasarkan suatu norma obyektif yang juga mengikat pihak yang memerintah; kedua, bahwa norma obyektif itu, hukum, memenuhi syarat bukan hanya secara formal melainkan dapat dipertahankan dengan idea hukum. Hukum menjadi landasan segenap tindakan negara; dan hukum itu sendiri itu harus baik dan adil. Baik; karena sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dari hukum, dan adil; karena maksud dasar segenap hukum adalah keadilan.

Dari keseluruhan penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut:

1. Kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan hukum positif yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum tidaklah cukup bahwa instansi negara, misalnya pemerintah, atau seorang menteri, berpendapat bahwa suatu tindakan perlu diambil demi kepentingan umum, melainkan tindakan itu hanya boleh diambil apabila tidak bertentangan dengan undang-undang.

2. Kegiatan negara berada di bawah kontrol kekuasaan kehakiman yang efektif. Dalam pelaksanaan fungsi-fungsi alat-alat negara dikontrol. Yang mengontrol, selain lembaga kontrol yang diciptakan khusus untuk tujuan itu berdasarkan undang-undang dasar, adalah masyarakat. Negara dan pemerintah dapat ditantang di hadapan pengadilan dan terhadap putusan hakim peringkat pertama orang berhak naik banding ke peringkat berikut. Terhadap tindakan negara yang dianggap tidak berdasarkan hukum warga masyarakat dapat minta perintah penghentian tindakan dari seorang hakim. Baru apabila negara dapat membuktikan legalitas tindakannya, yang mau diambil kepada hakim, tindakan itu boleh diambil. Kepentingan umum tidak merupakan alasan untuk menganggap sepi hukum yang berlaku (itu bukan hanya tuntutan keadilan, melainkan kepentingan umum sendiri: masyarakat jauh lebih berkepentingan agar penguasa selalu bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dari pada agar tindakan khusus tertentu terlaksana dengan cepat). Yang menetukan ciri negara sebagai negara hukum ialah bahwa kontrol itu nyata-nyata terlaksana, jadi bahwa negara betul-betul tunduk kepada putusan pengadilan dan sungguh-sungguh melaksanakannya.

3. Berdasarkan sebuah undang-undang dasar yang menjamin hak-hak azasi manusia. negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Artinya, hukum sendiri secara moral harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan itu berarti bahwa hukum harus sesuai dengan paham keadilan masyarakat dan menjamin hak-hak azasi manusia. Kesesuaian penggunaan kekuasaan negara dengan hukum yang berlaku merupakan syarat perlu, tetapi belum tentu syarat yang mencukupi agar kita dapat bicara tentang negara hukum. Hukum dapat saja merupakan alat dalam tangan penguasa untuk melegitimasikan tujuan-tujuan yang tidak wajar. Penguasa dapat menciptakan hukum sendiri, sesuai dengan kepentingan-kepentingannya. Maka di bawah topeng legalitas kesewenangan kekuasaan dapat merajalela dengan bebas. Adilnya hukum dan jaminan terhadap hak-hak azasi manusia merupakan bagian integral negara hukum.

4. Menurut pembagian kekuasaan. Ini merupakan jaminan atau prasyarat struktural terpenting agar negara hukum dapat menjadi kenyataan. Sebagaimana telah kita lihat, pembagian kekuasaan bertujuan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dalam satu tangan. Apabila fungsi-fungsi kekuasan negara dibagi atas beberapa pihak, diharapkan dapat tercipta suatu keseimbangan kekuasaan yang menjamin agar fungsi-fungsi itu dijalankan secara optimal, tetapi sekaligus mencegah bahwa eksekutif mengambil oper fungsi-fungsi kekuasaan lainnya.

Jika kita simak bunyi pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum yang demokratis, atau negara yang menganut paham demokrasi konstitusional.

Prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat dikemukakan 2 (dua) pemikiran, yaitu: pertama, bahwa kekuasaan tertinggi didalam negara Indonesia adalah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di lembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat. Kedua, cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan, namun tidak ada satu kekuasaan pun yang di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.

C. Konstitusi

Dalam setiap tata hukum suatu negara akan selalu diketemukan suatu bagian yang secara khusus mengatur ketentuan-ketentuan mengenai keorganisasian negara; bagian ini disebut konstitusi atau undang-undang dasar.

Sri Soemantri dalam disertasinya mengatakan, tidak ada satu negarapun di dunia sekarang ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Pernyataan yang senada bahkan sedikit lebih radikal bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin ada. konsekuensi dari kenyatan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial dalam kehidupan ketatanegaraan suatu negara.

Dr. A. Hamid S. Attamimi, dalam disertasinya berpendapat tentang pentingnya suatu konstusi atau undang-undang dasar adalah sebagai pemberi pegangan atau pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus dijalankan.

Konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara. Dengan demikian undang-undang dasar dapat diartikan sebagai suatu kitab dokumen yang memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya tertulis, yang menggambarkan sistem ketatanegaraan suatu negara.

Dari pengertian tesebut tampak jelas bahwa pengertian konstitusi dan undang-undang dasar adalah berbeda. Akan tetapi, tidak semua pakar sependapat dengan pembedaan tersebut. Sri Soemantri mengartikan konstitusi sama dengan undang-undang dasar. Hal ini sesuai dengan praktek ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia termasuk Indonesia.

C. F. Strong mengemukakan tujuan konstitusi itu, yakni untuk membatasi kesewenangan tindakan pemerintah, untuk menjamin hak-hak yang diperintah, dan merumuskan pelaksanaan kekuasaan yang berdaulat.

Ada banyak klasififikasi tentang konstitusi, K. C. Wheare memberikan klasifikasi sebagai berikut:

1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis

Yang dimaksud konstitusi tertulis ialah suatu konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal. Sedangkan konstitusi tidak tertulis ialah suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam suatu dokumen formal.

2. Konstitusi rijid dan konstitusi fleksibel

Yang dimaksud dengan konstitusi rijid adalah konstitusi yang memiliki prosedur perubahan yang sulit. Sedangkan konstitusi fleksibel, prosedur perubahannya mudah, tidak ubahnya seperti mengubah suatu undang-undang.

3. Konstitusi derajad tinggi dan konstitusi derajad rendah

Yang dimaksud dengan konstitusi derajad tinggi adalah suatu konstitusi yang memiliki kedudukan tertinggi dalam negara, konstitusi tersebut supreme terhadap parlemen. Sementara itu konstitusi derajad rendah adalah konstitusi yang tidak memiliki kedudukan tertinggi dalam negara, konstitusi tersebut berada di bawah supremasi parlemen.

4. Konstitusi serikat dan konstitusi persatuan

Yang dimaksud dengan konstitusi serikat adalah konstitusi yang mencantumkan sistem pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah negara bagian. Sedangkan konstitusi kesatuan, pembagian tersebut tidak dijumpai.

5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensial dan konstitusi sistem pemerintahan parlementer

Dalam konstitusi sistem pemerintahan presidensial, presiden disamping berkeduduksn sebagai kepala negara, ia juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan. Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak termasuk pemegang kekuasaan legislatif. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen.

Dalam konstitusi sistem pemerintahan parlementer, kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen. Para anggota kabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen. Perdana menteri bersama kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Kepala negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakan pemilihan umum.

Dengan melihat uraian tentang konsepsi konstitusi tersebut di atas, maka Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen, termasuk dalam konstitusi tertulis, konstitusi yang rijid, konstitusi yang derajad tinggi, konstitusi kesatuan, dan konstitusi yang menganut sistem pemerintahan campuran, karena dalam Undang-Undang Dasar 1945 disamping mengatur ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial, juga mengatur beberapa ciri sistem pemerintahan parlementer.

Di dalam UUD 1945 teramandemen, juga telah terkandung 3 (tiga) materi muatan konstitusi yang secara umum dimuat dalam setiap konstitusi di berbagai negara.

Untuk menjaga konstitusionalitas pelaksanaan kekuatan politik yang ada, dengan mendasarkan pada prinsip negara hukum, maka sistem kontrol yang relevan adalah sistem kontrol yudisial.

D. Pembatasan Kekuasaan

Judicial Review adalah kewenangan yang diberikan oleh konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga negara. Oleh karenanya perlu disinggung pula teori mengenai pembatasan kekuasaan dalam negara.

Negara adalah organisasi kekuasaan sebab di dalam negara terdapat pusat-pusat kekuasaan. Pusat-pusat kekuasaan tersebut terdapat dalam suprastruktur politik maupun infrastruktur politik yang mempunyai kekuasaan dalam arti memiliki kemampuan memaksakan kehendaknya kepada pihak lain atau mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain. Pusat-pusat kekuasaan itu memiliki kecenderungan untuk menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki. Kekuasaan yang dimiliki tidak tak terbatas. Kekuasaan itu harus dijalankan seturut dengan hukum yang berlaku.

Berbicara mengenai pembatasan kekuasaan, maka nama yang pertama yang harus dicatat adalah John Locke dalam bukunya “Two Trities on Civil Government”, di mana dalam bab XII yang berjudul “Of the Legislative, Executive and Federative Power of the Commonwealth” dia mengatakan bahwa kekuasaan dalam suatu negara dibagi tiga, yaitu legislatif, eksekuti dan federatif. Kekuasaan legislatif berarti kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang, sedangkan federatif adalah kekuasaan yang meliputi kekuasaan mengenai perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri.

Dengan diilhami oleh pendapat John Locke, Montesquieu dalam bukunya “L ‘Esprit des Lois” mengemukakan bahwa dalam setiap pemerintahan, terdapat tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan eksekutif sama seperti John Locke diartikan sebagai kekuasaan yang menjalakan undang-undang, hanya berbeda dengan John Locke kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bukan bagian dari eksekutif seperti John Locke. Legislatif adalah kekuasaan membuat undang-undang, sama halnya dengan John Locke, sedangkan kekuasaan untuk mengadili dilaksanakan oleh kekuasaan yudikatif. Dari uraian itu maka kelihatan bahwa Montesquieu tidak menempatkan kekuasaan federatif sebagai kekuasaan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari eksekutif. Selanjutnya Montesquieu mengatakan bahwa ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lain, baik orangnya maupun fungsinya. Teori ini kemudian populer dengan sebutan Trias Politica.

Adalah tidak mungkin untuk melaksanakan teori trias politica secara murni seperti yang dimaksudkan oleh Montesquieu, karena praktek ketatanegaraan akhir-akhir ini menunjukan bahwa pembuatan undang-undang yang seharusnya merupakan tugas legislatif saja, eksekutif juga telah diikut sertakan. Keadaan ini sudah merupakan tuntutan zaman, sebab dalam kenyataannya eksekutiflah yang mempunyai banyak tenaga ahli, jika dibandingkan dengan legislatif, dan dalam beberapa hal karena pengalaman dan banyaknya data-data yang diperlukan, maka eksekutif pulalah yang mempunyai fasilitas yang cukup untuk memikirkan dan menyusun suatu rancangan undang-undang.

Bahkan Amerika Serikat yang oleh banyak sarjana disebut sebagai satu-satunya negara yang ingin menjalankan teori trias politica, dalam kenyataannya mempraktekkan sistim saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antara kekuasaan-kekuasaan negara (chek and balances system), sehingga teori trias politica itu tidak dipraktekkan secara murni. Sistim tersebut dimaksud agar ketiga badan itu tidak menjalankan kekuasaannya yang melebihi atau kurang dari masing-masing kekuasaan yang ditentukan oleh konstitusi. Sistim ini juga banyak dipengaruhi oleh bentuk negara Amerika Serikat yang federalistik. Apabila ternyata Kongres membuat suatu rancangan undang-undang yang menurut penilaian presiden akan mengurangi kekuasaannya, maka Pesiden berhak memveto rancangan undang-undang tersebut, dan hak veto ini hanya tidak mampu lagi apabila Kongres dikuasai oleh 2/3 dari partai lawan Presiden, atau didukung oleh 2/3 anggota Kongres. Agar Kongres tidak membuat undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, maka kepada Mahkamah Agung juga diberi hak uji materiil (judicial review). Disamping itu Mahkamah Agung juga dapat membatalkan tindakan eksekutif apabila menurut penilaian Mahkamah Agung, Presiden tidak berhak mengambil tindakan tersebut.

Adanya hak veto dari Presiden sebenarnya sudah mengurangi pelaksanaan dari teori Trias Politica secara murni, karena di sini wewenang untuk menetapkan undang-undang oleh legislatif sudah dikurangi. Demikian pula halnya dengan kekuasaan Mahkamah Agung dalam hal judicial review dan untuk membatalkan tindakan presiden, menempatkan Mahkamah Agung lebih tinggi dari dua kekuasaan lainnya. Karena itulah Mahkamah Agung di Amerika Serikat dinamakan Supreme Court; jadi yang supreme bukan Presiden, bukan Kongres melainkan Mahkamah Agung. Hal ini juga telah mengurangi prinsip Trias Politica, karena ketiga kekuasaan tersebut tidak lagi sederajad, tetapi Mahkamah Agung telah ditempatkan pada tempat yang lebih tinggi.

Berdasarkan keterangan di atas, maka untuk menilai apakah suatu undang-undang dasar itu menganut pemisahan atau pembagian kekuasaan lebih tepat dipergunakan teori yang dikemukakan oleh Ivor Jennings. Teorinya dapat pula dikatakan sebagai sanggahan terhadap teori Trias Politica dari Montesquieu, yang didasarkan kepada kenyataan (khususnya di Inggris) bahwa dalam pembuatan undang-undang eksekutif ikut serta.

Menurutnya pemisahan kekuasaan dapat dilihat dari sudut formil dan materiil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Hal ini dikatakan sebagai pelaksanaan dari teori trias politica secara konsekuen. Dan dalam pembagian seperti di atas dapatlah disebutkan pemisahan kekuasaan. Sebaliknya apabila pembagian kekuasaan tidak dipertahankan secara tegas, maka disebut pemisahan kekuasaan dalam arti formil. Hal ini dapat dinamakan dengan pembagian kekuasaan. Jadi kalau dalam undang-undang dasar suatu negara dari ketiga kekuasaan yang dibagi itu ternyata dalam prakteknya tidak terdapat pemisahan kekuasaan, karena umpamanya undang-undangnya dibuat oleh eksekutif dan legislatif, maka undang-undang dasar tersebut dikatakan menganut azas pembagian kekuasaan.

Dari uraian di muka jelaslah bahwa dalam bidang eksekutif dan legislatif tidak lagi dianut prinsip trias politica atau separation of power secara materiil, karena pada masa sekarang di banyak negara tugas utama dari legislatif untuk membuat undang-undang, mengikut sertakan pihak eksekutif di dalam pembuatannya. Namun demikian tidak berarti dalam bidang yudikatif prinsip tersebut tidak perlu dianut lagi, sebab bagaimanapun tujuan dari pembagian kekuasaan adalah mencegah bertumpuknya kekuasaan di tangan satu orang, dan lebih lagi jaminan terhadap hak-hak azasi manusia, maka adanya badan yudikatif tidak lain adalah untuk terlaksananya jaminan atas pelaksanaan hak-hak azasi manusia. Ini berarti bahwa dalam bidang yudikatif tidak boleh ada campur tangan baik dari eksekutif maupun legislatif, bahkan pengaruh dari individu sekalipun. Kekuasaan yudikatif harus bebas dalam menentukan keputusannya menghadapi suatu perkara. Campur tangan dalam bidang yudikatif berarti akan menghilangkan prinsip negara hukum yang banyak dianut oleh negara-negara sekarang, dan sekaligus menghilangkan jaminan atas hak-hak azasi manusia.

Jadi walaupun suatu negara tidak menganut teori trias politika namun adalah merupakan tuntutan zaman bagi negara demokrasi dan negara yang menganut azas negara hukum, bahwa dalam bidang yudikatif prinsip trias politica atau prinsip separation of powers dalam arti materiil tetap harus dipertahankan.

Untuk menentukan apakah suatu undang-undang dasar menganut trias politica atau tidak, dapat pula dipakai ukuran yang dipakai oleh Wade and Phillips dalam bukunya Constitutional Law yang sebenarnya tergantung dari jawaban-jawaban atas pertanyaan sebagai berikut:

1. Apakah orang-orang atau badan-badan yang sama merupakan bagian dari kedua badan legislatif dan eksekutif?

2. Apakah badan legialatif yang mengontrol badan eksekutif ataukah badan eksekutif yang mengontrol badan legislatif?

3. Apakah badan legislatif melaksanakan fungsi eksekutif dan badan eksekutif melaksanakan fungsi legislatif?

4. Apakah orang-orang atau badan-badan yang sama merupakan bagian dari badan pengadilan dan badan legislatif?

5. Apakah eksekutif atau legislatif mengontrol atau mempengaruhi yudikatif atau yudikatif mempengaruhi atau mengontrol eksekutif atau legislatif?

6. Apakah eklsekutif dan yudikatif atau legislatif dan yudikatif melaksanakan fungsi badan yudikatif?

Pertanyaan nomor 1 sampai nomor 3 adalah dalam hubungan apakah antara eksekutif dan legislatif itu terdapat pemisahan kekuasaan atau tidak, dan pertanyaan nomor 4 sampai nomor 6 dalam hubungan adanya suatu yudikatif yang bebas dan tidak memihak. Jika pertanyaan-pertanyaan itu semua dijawab oleh suatu undang-undang dasar dengan “tidak”, maka negara itu jelas menganut teori trias politica atau pemisahan kekuasaan. Dan sebaliknya jika dijawab dengan “ya”, berarti bahwa suatu negara menganut pembagian kekuasaan.

Dari pertanyaan-pertanyaan di atas kiranya jelaslah bahwa pertanyaan nomor 1 sampai dengan nomor pertanyaan nomor 3 menurut penjelasan di muka seringkali akan dijawab dengan ya, sebaliknya sesuai dengan prinsip kekuasaan kehakiman yang bebas, dan sesuai dengan azas negara hukum, maka pertanyaan nomor 4 sampai dengan pertanyaan nomor 6 akan dijawab dengan tidak.

Menurut Jimly Asshidiqie, Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen menganut teori pemisahan kekuasaan. Dengan alasan lembaga negara yang ada sekarang tidak lagi mendapatkan kewenangan melalui pembagian kekuasaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat sebagaimana paradigma yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan. Kini lembaga-lembaga negara tersebut mendapatkan kewenangannya secara langsung dari Undang-Undang Dasar 1945.

Tetapi ada sebagian kalangan yang menilai bahwa kita masih tetap menganut prinsip pembagian kekuasaan. Terbukti di dalam UUD 1945, meski DPR/ legislatif memegang kekuasaan membentuk undang-undang (pasal 20 ayat (1)), tetapi setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden/eksekutif untuk mendapat persetujuan bersama (pasal 20 ayat (2)), dan jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat (3)). Presiden juga berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (pasal 5 ayat (1)).

Terlepas dari prinsip mana yang dianut, yang pasti pembatasan kekuasaan di Indonesia kini lebih tegas diatur di dalam UUD 1945. ini adalah sebuah langkah maju dalam mewujudkan supremasi hukum. Hukum harus tampil menjadi panglima.

E. Sistem Peradilan

Konsep negara hukum dan negara demokrasi yang lahir sebagai saudara kembar menyusul zaman Renaissance di Eropa telah membawa prinsip pemisahan atau pembagian kekuasaan ke dalam organ-organ tersendiri yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pembagian kekuasaan ke dalam 3 (tiga) poros yang kemudian dikenal dengan Trias Politika itu dimaksudkan untuk mendobrak absolutisme atau sistem pemerintahan yang otoriter.

Jika analisis di atas diletakan dalam konteks ajaran Montesquieu dalam ajaran Trias Politika murni, kekuasaan tidak hanya berbeda, tetapi juga merupakan suatu institusi yang harus terpisah satu sama lainnya di dalam melaksanakan kewenangannya.

Menurut doktrin pemisahan kekuasaan tersebut, fungsi dari kekuasaan kehakiman adalah melakukan kontrol terhadap kekuasaan negara guna mencegah terjadinya proses instrumentasi yang menempatkan hukum menjadi bagian dari kekuasaan. Telah jelas di sini bahwa lembaga peradilan memegang peranan penting dalam menjaga agar jangan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Untuk dapat disebut sebagai lembaga peradilan haruslah memenuhi persyaratan tertentu, antara lain:

1. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan;

2. Adanya suatu perselisihan hukum yang konkret;

3. Adanya sekurang-kurangnya 2 (dua) pihak;

4. Adanya suatu aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.

5. Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (rechtoepasing) “in concreto” untuk menjamin ditaatinya hukum materiil (a) di atas.

Setelah melihat uraian di atas, tampak bahwa keberadaan lembaga yudikatif dalam setiap negara yang menyebutnya sebagai negara hukum adalah suatu keharusan. Lembaga yudikatif tersebut haruslah merupakan lembaga yang mandiri dan bebas dari intervensi pihak manapun.

Di Indonesia, menurut pasal 24 UUD 1945 ayat (1) disebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan”. Ayat (2) menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Keberadaan Mahkamah Konstitusi yang telah diletakkan dalam bidang kekuasaan kehakiman, bisa dikatakan telah sejalan dengan perubahan paradigma ketatanegaraan yang terjadi dalam perubahan UUD 1945. Perubahan yang telah menggeser paradigma pembagian kekuasaan (distribution of power) ke paradigma pemisahan kekuasaan khususnya pada lembaga yudikatif (separation of power).

Mengenai wewenangnya, secara teoritis Mahkamah Konstitusi dibentuk dengan maksud agar berfungsi sebagai lembaga yang memiliki otoritas di dalam menafsirkan konstitusi, menyelesaikan sengketa antarlembaga negara yang sumber kewenangannya dari konstitusi dan memberi putusan mengenai pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan di dalam melakukan judicialization of politics.

Realitasnya, ide dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak diakomodir seluruhnya, walaupun terdapat penambahan. Hal tesebut tercermin dalam rumusan pasal 24C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Disamping itu, berdasarkan pasal 24C ayat (2) UUD 1945 teramandemen: “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut undang-undang dasar”.

Dari uraian di atas telah jelas, betapa pentingnya Mahkamah Konstitusi dalam mewujudkan negara Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis konstitusional.

a. Menurut konsepsi negara hukum, unsur pokok dari negara hukum adalah adanya lembaga kekuasaan kehakiman (cq. Mahkamah Konstitusi). Apalagi dalam negara hukum modern.

b. Menurut konsepsi demokrasi, lembaga kekuasaan kehakiman (cq. Mahkamah Konstitusi) memegang peranan penting untuk menjaga tetap terlaksananya kemauan rakyat selaku pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara, yang realisasinya sebagian dilakukan oleh lembaga perwakilan.

c. Menurut konsepsi konstitusi, dalam suatu negara harus ada pembagian dan pembatasan kekuasaan negara untuk menjamin hak-hak azasi manusia. Kehadiran Mahkamah Konstitusi dapat mendorong penguatan terhadap dasar-dasar konstitusionalisme tersebut dan juga dapat melakukan kontrol terhadap konstitusionalitas pelaksanaan kekuatan politik yang ada, agar jangan sampai menyimpang dari konstitusi.

Sedemikian pentingnya lembaga kekuasaan kehakiman, terutama Mahkamah Konstitusi yang langsung bersentuhan dengan konstitusi dan pusat kekuasaan negara, maka perlu ditelaah kembali kedudukan dan wewenang Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh UUD 1945 teramandemen, agar sesuai dengan “rechtsidee” pembentukannya yang dimaksudkan untuk mendorong mekanisme check and balances dalam pelaksanaan kekuasaan negara; sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme; penyelenggaraan negara yang bersih; dan perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar